Skip to main content
Shalat mempunyai posisi yang sangat penting. Ia adalah tiang penyangga agama ini. Sedangkan tiang penyangga utama dari shalat itu sendiri adalah bacaan al-Fâtihah, yang berulang kali dibaca setiap Muslim dalam setiap raka’at di dalam shalatnya. Maka tidak heran, bila tanpa membaca al-Fâtihah, shalat tidak sah. Namun sangat naïf bila seorang Muslim tidak tergerak untuk mendalami apa sebenarnya yang ia baca dalam shalatnya, terutama dalam membaca surat al-Fâtihah. Dan sudah seyogyanya bila semua Muslim menghayati dan meresapi rahasia agung yang terkandung di dalamnya; sebab ia tengah bermunâjat kepada Rabbnya. Dengan demikian, hatinya akan lebih khusyuk, lebih menghadirkan dialog ruhani dengan Rabbnya, dan lebih dekat untuk diterima shalatnya. Berikut ini kami sajikan ulasan dan renungan yang dibawakan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terkait dengan rahasia bacaan dalam surat al-Fâtihah. Semoga memicu kita untuk lebih menghadirkan hati saat bermunâjat dengan-Nya Azza wa Jalla. Bila orang yang sedang shalat membaca: A`ūdzu billāhi minas-syaitānir-rajīmi Aku berlindung kepada Allâh dari syaitan yang terkutuk; Maka saat itu, dia sungguh telah berlindung kepada satu pilar yang sangat kokoh, ia telah berlindung kepada daya dan kekuatan Allâh Azza wa Jalla dari musuhnya yang terus berusaha memotong jalannya menuju Rabbnya. Musuh yang terus berusaha menjauhkannya dari Allâh Azza wa Jalla . (Tujuan musuh ini yaitu menyeret orang yang shalat ini-red) agar berada dalam keadaan terburuk. Bila ia lanjutkan bacaannya dengan membaca: al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn Segala puji bagi Allâh, Rabb semesta alam. [Al-Fâtihah/1:2] ia berhenti sejenak, (seakan) menunggu jawaban dari Rabb-nya yang berfirman: Hamidanii ‘abdii Hamba-Ku memuji-Ku. Hal yang sama dilakukannya bila ia telah usai membaca: ar-raḥmānir-raḥīm Ar-Rahmânir Rahîm, [Al-Fâtihah/1:3] Ia berhenti sejenak menunggu jawaban Rabb-nya: Asynaa ‘alayya ‘abdii Hamba-Ku menyanjung-Ku Juga selepas membaca: māliki yaumid-dīn mâliki yaumid dîn; [Al-Fâtihah/1:4] ia berhenti menunggu jawaban Rabb-nya: Majdanii ‘abdii Hamba-Ku mengagungkan-Ku Duhai sungguh nikmat hatinya, betapa matanya terasa sejuk dan jiwanya penuh dengan kegembiraan tatkala mengetahui Rabb nya mengatakan, “Hamba-Ku” yang diulang sebanyak tiga kali. Demi Allâh! Sekiranya bukan karena kabut syahwat dan nafsu yang menggelayut di hati, tentu hati para hamba (yang sedang shalat itu-red) akan melonjak girang dan bahagia karena ucapan dari Rabbnya, Penciptanya dan Dzat yang diibadahinya, “Hamba-Ku telah memuji-Ku. Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.” Kemudian dalam hatinya ada ruang di mana ia bisa menyaksikan (maksudnya meyakini dan memahami) tiga nama Allâh Azza wa Jalla tersebut yang merupakan pokok dasar dari al-Asmâ’ul Husnâ, yaitu: Allâh, ar-Rabb, dan ar-Rahmân. Tatkala menyebut nama Allâh Azza wa Jalla , hatinya menyaksikan (meyakini dan memahami) Ilâh yang diibadahinya Yang Esa lagi ditakuti, di mana tidak ada yang berhak dan yang pantas untuk diibadahi selain Dia, yang semua wajah tunduk kepada-Nya, semua yang ada pun patuh tunduk hina kepada-Nya. dan semua suara pun lirih khusyu’ nan khidmat kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman: – Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allâh. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, [Al-Isrâ’/ 17: 44] – Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk. [Ar-Rûm/ 30: 26] Dia Yang menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan jin dan manusia, burung dan binatang liar, surga dan neraka, begitu pula Dia mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, menetapkan berbagai syariat, dan mengharuskan para hamba untuk tunduk pada perintah dan larangan-Nya. Dan tatkala menyebut nama: Rabbul âlamîn; Rabb Pemilik semesta alam; iapun menyaksikan (meyakini) Dzat Yang Berdiri dengan sendiri-Nya, dan segala sesuatu yang ada, eksis karena-Nya. Dialah yang mengatur dan menjaga setiap jiwa dengan kebaikan dan keburukannya. Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, dan mempunyai kendali mutlak dalam mengatur kerajaan-Nya. Pengaturan semesta semuanya ada di tangan-Nya, dan segala sesuatu akan kembali kepada-Nya. Semua pengaturan secara detail itu turun dari sisi-Nya melalui para malaikat-Nya; dengan memberikan pemberian dan menahannya; dengan menurunkan (derajat para musuh-Nya) dan mengangkatnya (derajat kaum Mukmin); dengan menghidupkan dan mematikan; dengan memberi suatu kekuasaan dan juga melengserkan dari kekuasaan; dengan menyempitkan (rezeki dan lainnya) dan melapangkannya; menyingkap berbagai kesulitan; menolong orang-orang yang berduka yang meminta pertolongan; mengabulkan doa orang-orang yang tengah dalam keadaan terhimpit nan terpaksa. Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. [Ar-Rahmân/ 55: 29] Tidak ada yang bisa mencegah apa yang Dia beri dan juga tidak ada yang memberi apa yang Dia cegah, dan tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya, dan tidak ada yang menolak perintah-Nya. Tidak ada yang merubah kalimat-Nya. Para Malaikat dan Jibril naik menuju-Nya; dipaparkan amalan pada pagi dan petang hari, sehingga Dia menentukan berbagai ketentuan takdir, dan memberikan waktu-waktu masanya, kemudian menggiring ketentuan takdir tersebut pada waktunya; di mana Dia mengatur itu semua dan menjaganya serta berbagai kepentingannya. Kemudian ketika menyebut nama ar-Rahman, hatinya menyaksikan (mengerti dan menyadari) Rabb Yang senantiasa baik kepada makhluk-Nya dengan beraneka ragam kebaikan, mencurahkan kepada mereka berbagai macam nikmat. Rahmat (kasih sayang) dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allâh Azza wa Jalla memberikan limpahan nikmat dan anugerah kepada setiap makhluk. Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, dan begitu pula nikmat-Nya menyentuh setiap yang hidup. Jangkauan Rahmat-Nya sama dengan jangkauan ilmu-Nya (dan itu tiada berbatas). Dengan rahmat-Nya, Dia bersemayam di atas arsy-Nya; Dengan rahmat-Nya, Dia menciptakan semua makhluk-Nya; Dengan rahmat-Nya, Dia menurunkan Kitab-Nya; Dengan rahmat-Nya, Dia mengutus para rasul-Nya; Dengan rahmat-Nya, Dia menetapkan syariat; Dengan rahmat-Nya, Dia menciptakan surga dan neraka. Dan sesungguhnya pecut yang dipergunakan untuk menggiring para hamba-Nya yang beriman menuju surga-Nya adalah rahmat-Nya dan pecut yang dipergunakan untuk membersihkan dosa-dosa para hamba-Nya yang bertauhid yang bermaksiat juga adalah rahmat-Nya. Termasuk penjara yang dipergunakan untuk memenjarakan para makhluk yang menjadi musuh-Nya, itu juga rahmat-Nya. Perhatikanlah rahmat dan nikmat-Nya yang sempurna yang ada dalam perintah dan larangan-Nya, juga wasiat dan petuah-Nya. Perhatikanlah rahmat dan nikmat-Nya yang ada pada para makhluk-Nya! Jadi, rahmat Allâh adalah tali penghubung Allâh Azza wa Jalla dengan para hamba-Nya, sebagaimana ubudiyyah (penghambaan diri seorang hamba) adalah tali penghubung mereka dengan Allâh Azza wa Jalla . Jadi ubudiyah itu adalah tali penghubung dari makhluk menuju Rabb mereka, sedangkan tali penghubung dari Allâh Azza wa Jalla kepada para makhluk-Nya adalah rahmat. Dan di antara momen paling sepesial pemandangan nama ini yang paling khusus (paling spesifik yang disaksikan hamba) adalah: apa yang disaksikan oleh orang yang sedang shalat berupa bagian rahmat yang didapatnya, yang membuatnya bisa berdiri di hadapan Rabbnya, yang membuatnya bisa mewujudkan peribadatan dan munajat kepada-Nya; yang memberinya kesempatan ini dan tidak memberikannya kepada lainnya; yang menggerakkan hatinya untuk dekat dengan-Nya dan membuat hati lain tidak tergerak untuk mendekat kepada-Nya. Dan itu adalah di antara rahmat Allâh kepadanya. Bila orang yang sedang shalat membaca: māliki yaumid-dīn Yang menguasai di hari Pembalasan [Al-Fâtihah/1:4] Di sini ia menyaksikan atau mempersaksikan keagungan yang hanya pantas untuk dimiliki oleh Allâh (tidak untuk yang lain sama sekali-red). Ia menyaksikan (meyakini) Dzat Yang Maha Menguasai lagi Maha mengalahkan. Semua makhluk tunduk kepada-Nya, semua wajah merunduk kepada-Nya, dan semua penguasa lalim takluk kepada keagungan-Nya, serta semua yang memiliki kebesaran tunduk kepada keagungan-Nya. Bila ia tidak termasuk orang-orang yang meniadakan (ta’thîl) hakikat sifat kekuasaan kerajaan-Nya, maka itu akan membuatnya bisa menyaksikan hakikat dari Asma’ dan sifat Allâh; di mana bila meniadakan hakikat sifat kekuasaan kerajaan-Nya berarti sama saja dengan meniadakan kekuasaan-Nya dan mengingkarinya. Karena sesungguhnya Penguasa Yang haq, yang kekuasaan-Nya maha sempurna, pasti Dia Maha hidup, Maha berdiri sendiri yang semua makhluk bergantung kepada-Nya, Maha mendengar, Maha melihat, Maha berkehendak, Maha Kuasa, Maha berbicara, Memberi perintah, Memberi larangan, bersemayam di atas singgasana kerajaan-Nya; Dia mengutus para rasul-Nya ke semua penjuru kerajaan-Nya dengan membawa perintah-Nya. Allâh Azza wa Jalla ridha terhadap orang yang memang berhak untuk mendapat ridha-Nya, memberinya pahala, memuliakannya dan mendekatkannya. Dan Allâh Azza wa Jalla juga marah terhadap orang yang berhak mendapatkan murka-Nya, menghukumnya, menghinakannya dan menjauhkannya. Dia menyiksa orang yang Dia kehendaki, dan mengasihi orang yang Dia kehendaki. Dia memberi orang yang Dia kehendaki, tidak memberi kepada yang Dia kehendaki. Dia mendekatkan yang Dia kehendaki serta menjauhkan yang Dia kehendaki. Dia memiliki negeri siksa yaitu neraka dan memiliki negeri kebahagiaan tak terkira yaitu surga. Barangsiapa yang menggugurkan sesuatupun dari itu semua, menentangnya atau mengingkarinya, maka sungguh ia telah mencela kekuasaan-Nya dan telah menafikan kesempurnaan-Nya. Demikian pula orang yang mengingkari qadha dan qadar-Nya secara umum, maka artinya ia telah mengingkari kekuasaan-Nya dan kesempurnaan-Nya yang meliputi segala sesuatu. Maka orang yang sedang shalat itu mempersaksikan keagungan Rabb Azza wa Jalla dalam firman-Nya: māliki yaumid-dīn Saat orang yang sedang shalat itu membaca: iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan [Al-Fâtihah/1:5] Maka, (hendaknya dia mengetahui) bahwa pada kedua kalimat itu terdapat rahasia penciptaan makhluk dan perintah Allâh, rahasia dunia dan akhirat. Ayat ini mengandung tujuan teragung dan wasilah terbaik (perantara terbaik untuk mewujudkan tujuan teragung tersebut-red). Tujuan teragung itu adalah beribadah kepada-Nya, sedangkan sarana terbaiknya adalah memohon pertolongan kepada-Nya. Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allâh, dan tidak ada yang bisa membantu seseorang untuk beribadah kecuali Allâh Azza wa Jalla . Jadi, beribadah kepada-Nya merupakan tujuan tertinggi dan pertolongan-Nya adalah jalan terbaik. Ayat ini mengandug dua jenis tauhid yaitu tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah Kemudian dengan membaca doa yang tertera dalam firman-Nya: ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm Tunjukilah kami jalan yang lurus, [Al-Fâtihah/1:5] ia mempersaksikan betapa dirinya sangat butuh dan sangat memerlukan apa diminta ini, tidak ada sesuatupun sama sekali yang lebih ia butuhkan dan lebih ia perlukan bila dibandingkan dengan apa ia minta dalam doa ini (yaitu memohon agar ditunjuki jalan yang lurus). Sesungguhnya ia memerlukan petunjuk itu dalam setiap tarikan nafas dan setiap kedipan matanya. Apa yang diminta dalam doa ini tidak akan terwujud kecuali dengan diberi hidayah (petunjuk) yang bisa mengantarkannya menuju Allâh Azza wa Jalla . Dan hidayah itu adalah hidayah bayan (ilmu dari Allâh-red), diberi kemampuan untuk beramal, diberi kemauan (untuk melakukannya), lalu mewujudkannya dan mendapatkan taufiq (dari Allâh) untuk melakukannya dengan cara yang diridhai dan dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan (diberi kemampuan untuk-red) menjaganya dari berbagai hal yang bisa merusaknya, baik saat ia melakukannya dan juga setelah ia melakukannya. Karena seorang hamba senantiasa membutuhkan hidayah ini di setiap keadaan, dalam semua perbuatan yang ia lakukan maupun perbuatan yang ia tinggalkan, maka ia perlu bertaubat, karena terkadang ada tindakannya yang tidak sejalan dengan petunjuk. Ia juga memerlukan tambahan hidayah (petunjuk) karena terkadang ia mengetahui petunjuk tentang sesuatu tapi baru yang pokok saja belum terperinci atau dia mengetahui tentang sesuatu dari satu sisi tapi tidak dari sisi yang lain. Maka disini dia memerlukan hidayah yang sempurna. Terkadang juga ada petunjuk-petunjuk yang belum dia lakukan, maka disini dia memerlukan petunjuk (taufiq-red) agar bisa melakukan amalan tersebut sesuai dengan petunjuk Allâh Azza wa Jalla . Terkadang dia sudah ditunjuki keyakinan dan amalan yang benar, maka di sini dia perlu petunjuk agar tetap istiqamah padanya dan lain sebagainya. Intinya dia membutuhkan berbagai macam hidayah. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mewajibkannya untuk memohon hidayah ini dalam keadaan terbaiknya (yaitu berdiri shalat-red), berkali-kali dan berulang-ulang pada siang maupun malam Kemudian Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa orang-orang yang mendapatkan hidayah ini adalah mereka yang mendapatkan keistimewaan anugerah nikmat-Nya, bukan al-maghdhûbi ‘alaihim (orang-orang yang mendapat murka) yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran, namun tidak sudi untuk mengikutinya; juga bukan adh-dhallin (orang-orang yang tersesat); yaitu mereka yang menyembah Allâh tanpa dasar ilmu. Dua kelompok di atas (yaitu yang dimurkai Allâh dan yang tersesat) mempunyai suatu kesamaan yaitu sama-sama berbicara (berdusta) atas nama Allâh mengenai perihal penciptaan, perintah-Nya, asma’ dan sifat-Nya tanpa dasar ilmu. Jadi, jalan orang-orang yang diberi nikmat berbeda sama sekali dengan jalan para pengikut kebatilan semuanya, baik dalam ilmu maupun dalam amalannya. Ketika selesai dari ungkapan sanjungan kepada-Nya, doa dan tauhid, maka Allâh mensyariatkan bagi orang yang shalat untuk memungkasi hal tersebut dengan segel ucapan âmîn; di mana ucapan ini seolah stempel baginya. Ucapan âmîn ini akan bersamaan dengan ucapan âmîn dari para malaikat di langit. Ucapan âmîn ini termasuk hiasan shalat, sebagaimana mengangkat dua tangan juga merupakan hiasan shalat, disamping juga (angkat kedua tangan itu-red) adalah bentuk ittibâ’ (mengikuti) sunnah, mengagungkan perintah Allâh, sebentuk ubudiyyah dari dua tangan, dan simbol perpindahan dari satu rukun menuju rukun lain. Kemudian ia mulai bermunajât kepada Rabbnya melalui firman-firman-Nya (membaca surat al-Quran), mendengarkan bacaan imam dengan diam menyimaknya dan menghadirkan hati. Dzikir yang paling utama adalah dzikir tatkala ia berdiri (dalam shalat) dan sebaik-baik posisi orang yang shalat adalah posisi berdiri. Maka posisi ini dikhususkan untuk bacaan yang mengandung pujian, sanjungan, pengagungan dan untuk membaca Kalamullah Azza wa Jalla. Karena itu juga, dilarang membaca al-Quran saat ruku’ dan sujud. Karena dua posisi ini adalah posisi yang menunjukkan kehinaan dan ketundukan serta kerendahan. Untuk itu, dalam kedua kondisi ini, disyari’atkan membaca dzikir yang sesuai dengan posisi tubuh saat itu. Itulah beberapa rahasia dalam bacaan surat al-Fatihah. Semoga bermanfaat [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] Read more https://almanhaj.or.id/9584-rahasia-dalam-bacaan-surat-alfatihah.html

Leave a Reply